Minggu, 07 Oktober 2007

SANG TOKOH*

J. Prapta Diharja

Oleh Cindy Hapsari dan Ag Wahyu Wibowo


Pada mulanya kertas kosong. Ia mulai menggoreskan alat tulisnya pelan-pelan, tapi pasti. Kata demi kata. Baris demi baris. Dilewatinya tanpa banyak kesukaran. Dimunculkannya seorang tokoh yang belum punya nama. Hanya dikatakan seseorang.

Ia berkulit sawo matang. Jauh dari tinggi apalagi besar. Ia sama seperti kebanyakan orang Jawa lainnya yang dilahirkan diperiode pertengahan 1950-an. Jika boleh diibaratkan ia adalah miniatur menara Eiffel dalam bentuk lain.

Dari seseorang lalu dibukanya tabir sedikit demi sedikit. Mulai dari kebiasaannya. Lalu kesenangannya. Kelebihannya. Kelemahannya. Lalu latar belakang dan sifat-sifat yang lainnya. Dengan begitu. Semakin jelas dan tegas identitasnya.

Laki-laki ini anak seorang petani di daerah Wedi, Klaten. Ia pun lahir di sana –kota yang berjarak beberapa kilometer dari timur Jogja- lalu dikenal dengan nama Suprapto. Tapi seumuran ini ia lebih banyak diceluk` Pak Prapto atau Romo Prapto oleh umatnya. Ya, orang ini atau kita sebut saja pak Prap, adalah seorang Jesuit. Tergabung menjadi anggota Serikat Yesus dan berkarya di dalamnya merupakan jalan hidup yang ia pilih: melayani umat, mengajar dan mengerjakan beberapa hobi macam menulis, menanam anggrek dan akhir-akhir ini, motret.

Mudah untuk melanjutkan ceritanya. Tinggal menjabarkan sifat-sifatnya. Maka, semakin lama semakin lancar saja penulis menggoreskan penanya di atas kertas. Bagitu enak menuangkan ide-idenya dari benak. Seolah meluncur begitu saja, tak banyak pertimbangan. Seperti orang melepaskan kata-kata pada waktu mabuk. Sehingga kesadaran pengarang mulai mengabur. Telah menyatu dan melebur bersama tokoh yang semakin hidup.

Dia senang menulis bahkan sejak di bangku sekolah menengah pertama. Pilihan lalu ditetapkan. Pak Prap menggunakan sastra sebagai salah satu mediasi untuk melukis segala yang ada dalam rasa. Kontemplasi hidup mengejewantah dalam kata-kata dan dibagikan gratis bagi sesama melalui jalur itu.
Pak Prap adalah seorang yang sederhana, dalam tutur, rupa, dan dalam hidup kesehariannya. Cerita-cerita yang ia buat pun berasal dari hal-hal kecil yang ditemuinya dalam sekian persinggungan hidup yang bagi orang lain mungkin terkesan terlalu sederhana atau malahan ordinair. ‘Hampir biasa-biasa saja’ mungkin kalimat paling tepat untuk menggambarkannya. Di tengah kesibukannya sebagai dosen Bahasa dan Sastra Universitas Sanata Dharma –juga sebagai pastor-, ia selalu sempat menyisihkan waktu untuk mulai merangkai ide-ide dan kegelisahannya dengan menulis.

Kini sosok sang tokoh itu telah semakin mengental di dalam pemaparan ceritanya. Lebih-lebih di benak penulis. Tokoh yang ia ciptakan telah menjadi tokoh yang semakin lincah. Tokoh yang cerdas. Punya inisiatif dan kreatif. Dia menciptakan tokoh yang lebih pandai dari pada penulisnya sendiri. Karena lebih pandai dan lebih kreatif dari penulisnya, maka tokoh itu juga lebih berani. Bahkan kadang-kadang nakal. Sekali-kali ia berani mengusulkan idenya ke benak pengarangnya. Gagasan-gagasan yang kadangkala aneh dan kurang masuk akal. Tidak hanya itu. seringkali si peran utama itu mencuri-curi kesempatan di kala penulis lengah.

Dulu pada masa novisiat pak Prap sempat membuat puisi. Puisi-puisi tersebut tergeletak begitu saja diraknya sama seperti karya-karyanya yang lain. Tidak begitu puas, ia lalu melancong ke cerpen dan kemudian mengembara ke cerita-cerita yang lebih dalam, lebih panjang. Tualang adalah salah satu karyanya yang pernah ia publikasikan dan di muat di majalah HIDUP. Cerita setebal 409 halaman kwarto itu rencananya masih akan di revisi dan mungkin akan dijadikan buku. Dalam cerita ini pak Prap bertutur mengenai keresahan anak manusia ketika harus berturbulensi dengan ke-diri-an serta semesta raya yang melingkupinya. Prolog filsafat kelahiran dalam bingkai metropolisnya Jakarta yang digunakan pak Prap sebagai latar belakang menjadikan dinamika kisah ini semakin hidup.

Tokoh menghendaki ada teman-teman sepermainan, yaitu tokoh-tokoh lain agar cerita berlangsung tidak monolog, tetapi dialog. Maka atas usul (desakan) sang tokoh, penulis memunculkan tokoh-tokoh lain. …Tahu-tahu, disadari penulis, tokoh utama semakin asing saja baginya. Berubah peran dan sifat-sifatnya. Sastrawan semakin heran dan ragu. Dalam hatinya yang paling dalam mulai menyimpan kecemasan.


Absurd dan kenes! Dua hal itu yang barangkali terasa ketika membacai karyanya. Apa yang diolahnya tidak sesederhana apa yang dilihat dengan mata biologis kita. Pertarungan manusia dalam menentukan nilai yang diimani maupun diamini tampak kental dalam tiap karya pak Prap. Sebut saja “Perang” atau “Seruling Senja”. Dalam cerita pertama diceritakan ketika seorang ayah yang pernah mengabdikan diri pada gugus depan kemiliteran harus bertarung dengan kenyataan bahwa dirinya tidak dapat membedakan batas “realitas semu” dan “realitas nyata” dalam kesehariannya. Cerita menjadi tragis ketika harus ditutup dengan kenyataan bahwa si ayah toh akhirnya menembak pelipis anak kandungnya yang baru berkembang menggemaskan dengan sebuah revolver. Si ayah bukan lagi seorang pecundang tetapi ia adalah seorang yang bodoh karena telah didungui kehendak anonimnya.
Metafor mengenai kisah anak gembala dalam “Seruling Senja” pun menarik diamati. Seperti pernyataan pak Prap mengenai penulis yang dikaguminya –selain Iwan Simatupang dan seorang sastrawan Belanda Slaoerhoff-, kita akhirnya akan dapat –semacam- bertemu ‘Danarto dalam bentuk lain’. Sesuatu yang transenden digambarkan apik dengan meminjam petualangan masyarakat yang terbiasa menganggap sesuatu yang tak biasa –tak terjelaskan- sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja. Bau mistis dan sufis dalam cerpen ini sedikit menyenggol kita untuk tidak begitu saja memaklumi hal-hal yang rutin mengada tanpa memepertanyakannya lebih lanjut.

Memang, kata-kata semakin meluncur. Deras seperti arus sungai. Tetapi benarkah ide-ide yang keluar itu betul-betul idenya sendiri? Sebentar-sebentar ia berhenti menulis. Ragu.

Hingga sekarang Pak Prap tidak pernah merencanakan kapan karyanya harus dibukukan. Sambil malu-malu dia bilang “semua ada waktunya”. Pak Prap seperti menyerahkan diri pada tangan angin dan membiarkan apakah ia kelak akan dilempar ke tanah yang gembur-subur atau kerontang sekalipun. Sepertinya ia percaya sungguh bahwa ada rencana baik telah tersusun untuk dirinya dan apapun rencana itu ia tampak sudah sangat siap menghadapinya. Buat seorang modern hal itu mungkin menggemaskan. Hampir tak ada greget sama sekali ketika wacana itu digelindingkan. Tetapi jika saja kita sempatkan diri untuk melongok lebih jauh, hal paling minimal yang terlihat dari pernyataan itu adalah perkara setia!
Pak Prap bilang perkembangan sastra Indonesia macet. Masalahnya juga karena kesetiaan. Banyak penulis muda tidak setia. Mereka tidak mengakar. Dan ketika kesetiaan setiap penulis muda untuk melalui sebuah proses menjadi begitu tipis dalam setiap pembuatan karya, hal itu menjadikan apa yang diciptakannya tidak semenarik karya-karya sastra dunia atau sastra Indonesia medio pertengahan. Ketidakberaniaan para penulis muda berdialektik dengan turbulensi hidup menyebabkan pak Prap hanya berani menyebut nama-nama macam Pramoedya Ananta Toer, Remy Silado, Iwan Simatupang dan genre-genre baru model Saman-nya Ayu Utami yang memang sudah sangat kerap kita dengar di blantika sastra Indonesia.

Tetapi menulis adalah kewajiban. Kadangkala memang ingin dia terbebas dari kewajiban menulis. Toh tak sampai hati. Bila ada dorongan dari dalam yang mendesaknya untuk menulis, menulislah ia sesuai dengan apa yang didorongkan dari dalam. Ilham baginya menjadi semacam kemutlakan.

Dengan rendah hati ia bertutur bahwa dirinya masih selalu belajar dalam proses menulisnya dan setia menyempurnakan karya yang sudah ia tulis. Tidak mengherankan kalau kemudian puluhan cerita pendek dan puisi, juga novel yang sudah ia tulis mengarsip saja di rak bukunya. Malahan ia harus membongkar dulu tumpukan bukunya ketika “Jalur Pitu” hendak meminjam karya-karyanya.
Pak Prap adalah seorang yang sederhana, sesederhana keinginannya untuk terus bisa menulis. Sebuah kesetiaan yang disandarkan bahwa sastra dapat digunakan untuk berbagi, berdialog, berkontemplasi. Kini harap kita hanyalah satu: menunggu pak Prap mau berbagi lewat sekian karyanya.
Ya, akhirnya selamat berdialektik dan bertubulensi dengan hidup pak Prap… !!

Akhirnya bobolah pertahannya oleh musuh. Dia telah menyelesaikan klimaksnya dengan tuntas tanpa dikehendakinya. Sang Tokoh telah menang. Telah terlaksana niatnya. Penulis yang kalah perang terkulai lemas, kehabisan tenaga. Entah sampai kapan dia akan bangun.

Catatan untuk tanda*

Sang Tokoh adalah salah satu cerpen yang dibuat oleh J. Prapta Diharja. Semua bagian yang dicetak miring adalah bagian dari cerpen dengan judul yang sama.

Tidak ada komentar: