Minggu, 07 Oktober 2007

MANUNGGALING KAWULA GUSTI

Monisme dan Pantheisme dalam Kecubung Pengasihan

Oleh Agus Sulistyo


Menjadi catatan penting pengantar tulisan ini, unsur monisme dan pantheisme dalam Kecubung Pengasihan (KP) karya Danarto akan saya batasi pada pandangan orang Jawa mengenai dasar numinus keakuan. Kesadaran numinus keakuan merupakan usaha utama mistik Jawa, yaitu kesadaran dan penghayatan bahwa dasar keakuan manusia adalah manunggal dengan Allah, dan melalui hal tersebut dapat dicapai tujuan, asal dan segala sesuatu yang diciptakan (kawruh sangkan paraning dumadi). Selanjutnya, kesadaran ini dirumuskan dalam ajaran Manunggaling Kawula Gusti. Jadi, istilah monisme dan pantheisme di sini (pantheisme yang telah dimasukkan --dalam arti tertentu dibatasi-- dalam tipologi pandangan Jawa mengenai dasar numinus ke-aku-an) merupakan analogi dari konsepsi teoritik orang barat tentang hubungan antara kesatuan (tunggal) dan keberanekaan (jamak) realitas yang membentuk pandangan tentang dunia, semesta dan Tuhan. Oleh karena itu, pemahaman tentang term monisme dan pantheisme merupakan sesuatu yang amat penting.

Monisme – Pantheisme

Kedua pandangan ini meletakkan dasarnya pada konsep ke-esa-an segala sesuatu dalam adanya. Konsep ini merupakan salah satu jawaban atas hubungan tunggal-jamak keseluruhan realitas. Salah satu implikasinya, Tuhan yang berpribadi disangkal secara konsisten. Hal ini jelas bertentangan dengan theisme.

Monisme merupakan istilah yang diciptakan oleh Christian Wolff (1679-1754) bagi setiap usaha untuk menafsirkan realitas berdasarkan satu prinsip saja dengan menghilangkan keragaman dan perbedaan. Kejamakan selalu dikembalikan kepada kesatuan (prinsip tunggal). Allah terlebur dalam dunia.

Sedangkan Pantheisme merupakan ajaran yang menyamakan Allah dengan jagad raya. Tuhan dan dunia bukan merupakan dua hakikat yang terpisah. Ketunggalan berpangkal pada Tuhan dan dunia terlebur dalam Tuhan.

Pengalaman Mistik : Dasar Penghayatan Numinus Ke-aku-an


Gejala monisme dan pantheisme dalam KP bertitik tolak pada pengalaman mistik. Gagasan mistik sudah tampak pada atmosfir KP yang bernuansa kebatinan. Atmosfir ini diperkuat dengan deskripsi dan lambang (metafor) yang memiliki konotasi mistik. Subjektivitas amat ditekankan KP. Dunia imaji dan deskripsi abstrak amat kental dan pekat, namun terjalin menjadi satu dalam realitas yang dialami tokoh perempuan bunting yang gelandangan. Subjektivitas inilah yang mendasari numinus keakuan pada diri tokoh. Penekanan ini bukan suatu kebetulan; dibaliknya ada gagasan tertentu yang diungkapkan.

Gagasan mistik dan realitas sosial dalam KP, rupanya, tidak dapat dipisahkan. Realitas yang dilihat sebagai kesatuan harmonis (kesalingberkaitan satu dengan yang lain secara serasi), tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Akibatnya terbentuk suatu konstruksi yang bermakna pada alam pengalaman subjek (dalam tokoh perempuan bunting yang gelandangan).

Dunia mistik seakan-akan terjalin dengan sedemikian erat dengan dunia gelandangan (sebagai realitas kepincangan sosial). Namun hal ini mengandung konotasi yang positif, yaitu aksesisme. Kemiskinan (yang selalu bersimbiosis dengan kelaparan dan keterasingan dalam pergaulan) mengandung konotasi bagian dari pengalaman mistik, yaitu perjalanan persatuan dengan yang ilahi dan pemenuhan hasrat jiwa (kerinduan) akan penghayatan langsung terhadap kebenaran sejati. Hal ini dituangkan oleh narator sebagai berikut :

Ia tak pernah mendapat apa-apa dalam tong sampah . Kemudian, diputuskannya makan kembang. Berhari-hari memakan kembang di taman itu (KP. Hlm 52).


Askesisme (yang disimbolisasikan dalam gelandangan) pada intinya merupakan sebuah pencarian. Namun, pencarian di sini, secara khusus, dilandasi oleh keyakinan bahwa subyek dapat mencapai tujuannya (manunggaling kawula gusti) melalui premis yang diyakini dapat menghantarkan subyek kepada tujuannya tersebut, yaitu askesisme itu sendiri. Hal ini diungkapkan oleh narator sebagai berikut :

“Tuhan telah meninggalkan kita. “ kata Kemuning
“Benarkah ?” kata perempuan itu
“Demikianlah.”
“Akan kususul Dia.”
“Buat apa ? Dia terlalu kencang lari-Nya.”
“Laparku akan mampu mengejar-Nya.” Kata perempuan itu (KP Hlm. 67).


Askesisme di sini bukan atas dasar adanya dikotomi yang mempertentangkan antara jiwa (baik) dan badan (jahat). Sebaliknya, justru jiwa dan badan merupakan suatu kesatuan dalam pencapaian jumbuhing kawula gusti (meleburnya manusia dan yang ilahi) – jumbuhing kawula gusti (dasar numinus keakuan orang Jawa) merupakan puncak pengalaman mistik yang senantiasa dirindukan.

Meskipun demikian, toh antara jiwa (realitas batin) dan badan (realitas lahir) tetap dibedakan. Jiwa halus dan badan kasar. Namun, kedua term atau proposisi tersebut hanya merupakan suatu distingsi bukan dikotomi, apalagi dua term atau proposisi kontradiktif yang saling menegasikan. Yang lahir merupakan segala tindakan dan perbuatan (yang tampak oleh panca indera) dan yang batin merupakan alam kesadaran subyektif. Namun realitas batinlah yang dianggap sebagai ada secara mutlak (suksma), sedangkan realitas lahir hanya penampakannya saja dan hanya sebuah ilusi.Maka yang lahir merupakan tiada.

Kesadaran batin ini tampak dalam spekulasi terhadap makrokosmos (jagad gedhe) dan mikrokosmos (jagad cilik). Jagad gedhe merupakan alam dilihat dari segi lahir (fisik), dan jagad cilik merupakan jasad manusia yang merupakan realitas batin yang melahirkan diri melalui tahap-tahap konsentris. Hal ini diperjelas dengan pandangan yang bersifat spekulatif bahwa kekuatan alam raya berasal dari realitas yang tidak kelihatan, di balik suatu kesatuan yang harmonis.

Manunggaling (jumbuhing) Kawula Gusti


Dalam pandangan mistik Jawa, jagad gedhe dimuat oleh jagad cilik. Paradoks ini juga tampak dalam pandangan bahwa Tuhan memasuki jasad manusia dan manusia dengan Tuhan merupakan realitas yang dalam pandangan mistik Jawa. Ini tampak dalam nukilan KP sebagai berikut :

“O, rahim semesta. Demikian agungkah kau.? Rahimku mengandung diriku sendiri, tempat aku bermain-main di dalamnya. “ (KP Hlm. 71)

“… Aku tahu. Biarlah … biarlah. Mereka toh tidak tahu bahwa aku sedang mengandung. Tuhan … “ (KP Hlm. 74)


Pengalaman mistik (dalam mistik Jawa) mencapai puncaknya pada tahap kesadaran dan penghayatan hakekatnya kemanunggalannya dengan zat yang ilahi (Tuhan). Hal ini hanya dapat dicapai dengan memasuki batinnya -realitas batinnya sebagai salah satu dimensi hakikatnya- sendiri dan melupakan (melepaskan) realitas lahir -realitas lahir sebagai satu dimensi lain. Keterkaitan dan kelekatan terhadap alam lahir dilepas dengan merefleksikan, kelemahan-kelemahan, kekerdilan, ketidakberartian, dsb. Hal ini dideskripsikan oleh narator sebagai berukut :

Ia merasa seolah-olah melayang meninggalkan jasadnya ke alam astral. Ia merasa anggota badannya, tangan-tangannya, kaki-kakinya, bahkan seluruh tubuhnya rontok. Ia membuka matanya lebar-lebar tetapi ia masih ditempat. Ia tak sedikitpun beranjak. Ia tinggalkan tubuhnya sekaligus dengan cakatan, seolah-olah perempuan yang habis melakukan perjalanan yang jauh dan lantas kegerahan lalu ia tanggalkan semua pakaiannya, kemudian ia jinjing sendiri kulit rahimnya dan tersentaklah kulit rahim itu seperti balon mainan anak-anak yang mengembang ditiup. Dan kulit itu mengembang besar sekali. Besar sekali. Ya Maha besar sekali hingga ia menjadi semesta (KP. Hlm 70-71).

Perempuan itu merasa lebur jiwanya dan melayang-layang dalam angkasa hampa udara (KP. Hlm 71).

Titik puncak pengalaman mistik dideskripsikan ke dalam istilah kekosongan (awang-uwung). Kekosongan meerupakan tanda yang Ilahi. Berhadapan dengannya berarti berhadapan dengan jiwa dasar batinnya sendiri (suksma). Di situlah, subjek, secara pribadi, bersatu dengan yang Ilahi sehingga tabir yang membatasi yang Ilahi dengan manusia tidak ada. Gejala pencapaian bagian dari puncak pengalaman mistik (dalam pandangan Jawa) tersebut tampak dalam nukilan KP sebagai berikut :

“Terbuka !”, teriak perempuan itu kegirangan. “Aku telah membuka tabir. Tabir menyibak.”
…………………………………………….
“ Tabir itu sesungguhnya tidak ada “ gumam permpuan itu, “Perasaan dan mataku saja yang menipuku.” (KP. Hlm. 71)

Pencitraan Tuhan

Pencitraan Tuhan dalam KP tampaknya masih mengandung ambiguitas (Tuhan merupakan pribadi atau tan pribadi, zat mutlak Ilahi yang melebur dalam manusia). Pencitraan Tuhan tampaknya masih belum dapat dipastikan masuk ke dalam kategori monisme-pantheisme secara mutlak.

Ya, Allah
Undanglah daku
Dalam satu meja makan
Di mana terhidang segala makanan,
Kasih sayang
Dan gurau bersahut-sahutan
Lalu engkau berkata dengan senyum merekah
“Marilah kita bicara tentang segalanya”
Sejenak tangan kiri kita masing-masing berpegangan
Pada bibir meja
Engkau julurkan secangkir teh kepadaku
Dan ketika jari-jarimu menggeser jari-jariku
Aduhai, perasaan bahagia menyelinap
Di hati kita masing-masing tanpa kita sadari.
(KP. Hlm 70).


“O, Pohon Hayatku ! O, Permata Cahayaku,” hati perempuan itu menyanyi. “Lihatlah ! Lihatlah ! Aku lari keharibaanMU Aku memenuhi undanganMu. Aku terima pinanganmu. Sambutlah ! Sambutlah !” (KP. Hlm 70).


Maka, timbul pertanyaan apakah Danarto konsisten terhadap monisme dan pantheisme yang dibangunnya dalam KP atau tidak. Artinya, sebenarnya theisme (Tuhan=alkhalik, manusia=hambanya) juga dibangunnya dalam cerpen tersebut. Ataukah Tuhan yang berpribadi merupakan suatu personifikasi ?

Dalam hal ini, bangunan monisme dan pantheisme memang tidak dipertahankan secara kaku oleh Danarto. Kiranya, Tuhan yang dipersonifikasikan sebagai pribadi memiliki tendensi agar monisme dan pantheisme yang dibangunnya tidak terjatuh pada materialisme dan konsepsi teoritik saja.

Religiusitas Otentik

Yang terjadi bagi dia menjadi lambang yang boleh jadi tidak terjadi, tetapi yang dihayati, penghayatan manusia selaku keseluruhan dari kemungkinan-kemungkinan manusia potensial (dalam Der Man ohne Eigenschaften)

Karya sastra, pada hakekatnya, tidak muncul dari sesuatu yang serba kebetulan. Karya sastra sebenarnya muncul berangkat dari sebuah penghayatan manusia yang tertentu dan otentik, bahkan dapat dikatakan berangkat dari religiusitas tertentu.
Gerak peristiwa demi peristiwa dalam KP yang berlangsung secara evolusioner menuju suatu titik puncak dan penyelesaian yang bertanggung jawab merupakan suatu gejala religiositas yang otentik. Hal ini juga diperkuat dengan penanggalan pengalaman kebatinan dari agama.


“Dini hari itu aku merasakan kesyahduan yang sangat. Hingga terasa olehku kolong jembatan adalah gereja masjidku yang penuh harapan di masa depan. Walau tiang-tiangnya telah rapuh hingga aku khawatir bila mulai tidur di bawahnya, ia merupakan rumah Tuhan yang kucintai dengan kekalnya.” (KP. Hlm 54).

KP sebenarnya merupakan salah satu jawaban yang ditawarkan oleh Danarto kepada pembaca atas pertanyaan bagaimana manusia berhadapan dengan hakekatnya dan memberi wujud yang paling bermakna bagi hidupnya. Manusia yang merupakan kesatuan realitas batin dan lahir hendaknya semakin mengolah diri ke dalam dan ke luar. Ke dalam berarti mengolah dan semakin menyelami batinnya, dan keluar berarti mengambil sikap yang tepat dalam hubungan sesama dan lingkungan (alam). Secara khas, jawaban tersebut terangkai dalam suatu parabel religius yang jelas telah ditanggalkan dari (simbol-simbol) agama.

Sebuah pertanyaan bagi kita, “ Bagaimana kita menghayati Tuhan secara pribadi, terlepas dari isme-isme dan dogma-dogma agama ?”


REFERENSI

Collins dan Farrrugia
1990 Kamus Teologi, Yogyakarta, Kanisius

Danarto
1987 Godlob, Kumpulan Ceerpen, Jakarta, Grafiti Pers

Mangunwujaya, YB
1982 Sastra dan Religiusitas, Jakarta, Sinar Harapan

Suseno, Franz Magnis
1982 Etika Jawa, Jakarta, Gramedia

Zoetmurder, JP.
1990 Manunggaling Kawula Gusti: Pantheisme dan Monisme dalam Sastra dalam Sastra Suluk Jawa, Jakarta , Gramedia.

Tidak ada komentar: