Minggu, 07 Oktober 2007

Casciscus

Bila percakapan, obrolan, diskusi, cangkeman, dst, adalah satu elemen yang memancing datangnya pertanyaan, kemudian kami lebih senang menulis (baca: menghindar) saja dari rimbunnya tanya; merakit huruf dan mewabahkan metafora dalam setiap kalimat. Walaupun, tetap tanya itu selalu ada ketika teks demi teks mengalun lembut maupun kasar kasar. Lantas, jika menulispun masih menyertakan ketakutan-ketakutan atas penilaian terhadap sebuah karya setelah lepas dari pengarangnya, jangan pernah berpikir untuk menulis karena menulis tidak akan pernah mendatangkan keasyikan jika dikerjakan dengan takut-takut. “Menulis mengubah dunia?” tanya seorang kawan ragu-ragu. “Mungkin!”, jawab yang lain, jauh lebih ragu. Semua serba mungkin, dan jauh dari pasti. Oleh karenanya, kami mencoba sekian kemungkinan yang ada melalui media menulis. Wuekh!

Kami adalah yang selalu terbius dengan eforia masa muda, yang kerap dihantui sejarah dan tak luput dari bayang-bayang indah dan tak indahnya masa depan. Apa yang bisa kami buat selagi kuat? Sastra jelas bukan emas yang mengkilat, tapi mungkin semacam coklat yang bukan emas tapi juga mengkilat oleh usapan lidah-lidah penggemarnya. Jangan berpikir bahwa sastra, seni, budaya, yang tertuang dalam adonan ini adalah menu yang harus disantap tuntas, karena kami juga kerap mual dengan semua yang tersaji.

Oya, ini adalah edisi “siuman” setelah kurang lebih setahun tak sadarkan diri. Setahun yang lalu kami muncul dengan “kemlinthi”, dan sekarang mungkin jauh lebih “kemlinthi”. Jadi, maaf, kami cuma generasi sakit hati yang tidak tahu mau berbuat bagaimana lagi! (Atau malah paling tahu?). Wallahualam!

MANUNGGALING KAWULA GUSTI

Monisme dan Pantheisme dalam Kecubung Pengasihan

Oleh Agus Sulistyo


Menjadi catatan penting pengantar tulisan ini, unsur monisme dan pantheisme dalam Kecubung Pengasihan (KP) karya Danarto akan saya batasi pada pandangan orang Jawa mengenai dasar numinus keakuan. Kesadaran numinus keakuan merupakan usaha utama mistik Jawa, yaitu kesadaran dan penghayatan bahwa dasar keakuan manusia adalah manunggal dengan Allah, dan melalui hal tersebut dapat dicapai tujuan, asal dan segala sesuatu yang diciptakan (kawruh sangkan paraning dumadi). Selanjutnya, kesadaran ini dirumuskan dalam ajaran Manunggaling Kawula Gusti. Jadi, istilah monisme dan pantheisme di sini (pantheisme yang telah dimasukkan --dalam arti tertentu dibatasi-- dalam tipologi pandangan Jawa mengenai dasar numinus ke-aku-an) merupakan analogi dari konsepsi teoritik orang barat tentang hubungan antara kesatuan (tunggal) dan keberanekaan (jamak) realitas yang membentuk pandangan tentang dunia, semesta dan Tuhan. Oleh karena itu, pemahaman tentang term monisme dan pantheisme merupakan sesuatu yang amat penting.

Monisme – Pantheisme

Kedua pandangan ini meletakkan dasarnya pada konsep ke-esa-an segala sesuatu dalam adanya. Konsep ini merupakan salah satu jawaban atas hubungan tunggal-jamak keseluruhan realitas. Salah satu implikasinya, Tuhan yang berpribadi disangkal secara konsisten. Hal ini jelas bertentangan dengan theisme.

Monisme merupakan istilah yang diciptakan oleh Christian Wolff (1679-1754) bagi setiap usaha untuk menafsirkan realitas berdasarkan satu prinsip saja dengan menghilangkan keragaman dan perbedaan. Kejamakan selalu dikembalikan kepada kesatuan (prinsip tunggal). Allah terlebur dalam dunia.

Sedangkan Pantheisme merupakan ajaran yang menyamakan Allah dengan jagad raya. Tuhan dan dunia bukan merupakan dua hakikat yang terpisah. Ketunggalan berpangkal pada Tuhan dan dunia terlebur dalam Tuhan.

Pengalaman Mistik : Dasar Penghayatan Numinus Ke-aku-an


Gejala monisme dan pantheisme dalam KP bertitik tolak pada pengalaman mistik. Gagasan mistik sudah tampak pada atmosfir KP yang bernuansa kebatinan. Atmosfir ini diperkuat dengan deskripsi dan lambang (metafor) yang memiliki konotasi mistik. Subjektivitas amat ditekankan KP. Dunia imaji dan deskripsi abstrak amat kental dan pekat, namun terjalin menjadi satu dalam realitas yang dialami tokoh perempuan bunting yang gelandangan. Subjektivitas inilah yang mendasari numinus keakuan pada diri tokoh. Penekanan ini bukan suatu kebetulan; dibaliknya ada gagasan tertentu yang diungkapkan.

Gagasan mistik dan realitas sosial dalam KP, rupanya, tidak dapat dipisahkan. Realitas yang dilihat sebagai kesatuan harmonis (kesalingberkaitan satu dengan yang lain secara serasi), tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Akibatnya terbentuk suatu konstruksi yang bermakna pada alam pengalaman subjek (dalam tokoh perempuan bunting yang gelandangan).

Dunia mistik seakan-akan terjalin dengan sedemikian erat dengan dunia gelandangan (sebagai realitas kepincangan sosial). Namun hal ini mengandung konotasi yang positif, yaitu aksesisme. Kemiskinan (yang selalu bersimbiosis dengan kelaparan dan keterasingan dalam pergaulan) mengandung konotasi bagian dari pengalaman mistik, yaitu perjalanan persatuan dengan yang ilahi dan pemenuhan hasrat jiwa (kerinduan) akan penghayatan langsung terhadap kebenaran sejati. Hal ini dituangkan oleh narator sebagai berikut :

Ia tak pernah mendapat apa-apa dalam tong sampah . Kemudian, diputuskannya makan kembang. Berhari-hari memakan kembang di taman itu (KP. Hlm 52).


Askesisme (yang disimbolisasikan dalam gelandangan) pada intinya merupakan sebuah pencarian. Namun, pencarian di sini, secara khusus, dilandasi oleh keyakinan bahwa subyek dapat mencapai tujuannya (manunggaling kawula gusti) melalui premis yang diyakini dapat menghantarkan subyek kepada tujuannya tersebut, yaitu askesisme itu sendiri. Hal ini diungkapkan oleh narator sebagai berikut :

“Tuhan telah meninggalkan kita. “ kata Kemuning
“Benarkah ?” kata perempuan itu
“Demikianlah.”
“Akan kususul Dia.”
“Buat apa ? Dia terlalu kencang lari-Nya.”
“Laparku akan mampu mengejar-Nya.” Kata perempuan itu (KP Hlm. 67).


Askesisme di sini bukan atas dasar adanya dikotomi yang mempertentangkan antara jiwa (baik) dan badan (jahat). Sebaliknya, justru jiwa dan badan merupakan suatu kesatuan dalam pencapaian jumbuhing kawula gusti (meleburnya manusia dan yang ilahi) – jumbuhing kawula gusti (dasar numinus keakuan orang Jawa) merupakan puncak pengalaman mistik yang senantiasa dirindukan.

Meskipun demikian, toh antara jiwa (realitas batin) dan badan (realitas lahir) tetap dibedakan. Jiwa halus dan badan kasar. Namun, kedua term atau proposisi tersebut hanya merupakan suatu distingsi bukan dikotomi, apalagi dua term atau proposisi kontradiktif yang saling menegasikan. Yang lahir merupakan segala tindakan dan perbuatan (yang tampak oleh panca indera) dan yang batin merupakan alam kesadaran subyektif. Namun realitas batinlah yang dianggap sebagai ada secara mutlak (suksma), sedangkan realitas lahir hanya penampakannya saja dan hanya sebuah ilusi.Maka yang lahir merupakan tiada.

Kesadaran batin ini tampak dalam spekulasi terhadap makrokosmos (jagad gedhe) dan mikrokosmos (jagad cilik). Jagad gedhe merupakan alam dilihat dari segi lahir (fisik), dan jagad cilik merupakan jasad manusia yang merupakan realitas batin yang melahirkan diri melalui tahap-tahap konsentris. Hal ini diperjelas dengan pandangan yang bersifat spekulatif bahwa kekuatan alam raya berasal dari realitas yang tidak kelihatan, di balik suatu kesatuan yang harmonis.

Manunggaling (jumbuhing) Kawula Gusti


Dalam pandangan mistik Jawa, jagad gedhe dimuat oleh jagad cilik. Paradoks ini juga tampak dalam pandangan bahwa Tuhan memasuki jasad manusia dan manusia dengan Tuhan merupakan realitas yang dalam pandangan mistik Jawa. Ini tampak dalam nukilan KP sebagai berikut :

“O, rahim semesta. Demikian agungkah kau.? Rahimku mengandung diriku sendiri, tempat aku bermain-main di dalamnya. “ (KP Hlm. 71)

“… Aku tahu. Biarlah … biarlah. Mereka toh tidak tahu bahwa aku sedang mengandung. Tuhan … “ (KP Hlm. 74)


Pengalaman mistik (dalam mistik Jawa) mencapai puncaknya pada tahap kesadaran dan penghayatan hakekatnya kemanunggalannya dengan zat yang ilahi (Tuhan). Hal ini hanya dapat dicapai dengan memasuki batinnya -realitas batinnya sebagai salah satu dimensi hakikatnya- sendiri dan melupakan (melepaskan) realitas lahir -realitas lahir sebagai satu dimensi lain. Keterkaitan dan kelekatan terhadap alam lahir dilepas dengan merefleksikan, kelemahan-kelemahan, kekerdilan, ketidakberartian, dsb. Hal ini dideskripsikan oleh narator sebagai berukut :

Ia merasa seolah-olah melayang meninggalkan jasadnya ke alam astral. Ia merasa anggota badannya, tangan-tangannya, kaki-kakinya, bahkan seluruh tubuhnya rontok. Ia membuka matanya lebar-lebar tetapi ia masih ditempat. Ia tak sedikitpun beranjak. Ia tinggalkan tubuhnya sekaligus dengan cakatan, seolah-olah perempuan yang habis melakukan perjalanan yang jauh dan lantas kegerahan lalu ia tanggalkan semua pakaiannya, kemudian ia jinjing sendiri kulit rahimnya dan tersentaklah kulit rahim itu seperti balon mainan anak-anak yang mengembang ditiup. Dan kulit itu mengembang besar sekali. Besar sekali. Ya Maha besar sekali hingga ia menjadi semesta (KP. Hlm 70-71).

Perempuan itu merasa lebur jiwanya dan melayang-layang dalam angkasa hampa udara (KP. Hlm 71).

Titik puncak pengalaman mistik dideskripsikan ke dalam istilah kekosongan (awang-uwung). Kekosongan meerupakan tanda yang Ilahi. Berhadapan dengannya berarti berhadapan dengan jiwa dasar batinnya sendiri (suksma). Di situlah, subjek, secara pribadi, bersatu dengan yang Ilahi sehingga tabir yang membatasi yang Ilahi dengan manusia tidak ada. Gejala pencapaian bagian dari puncak pengalaman mistik (dalam pandangan Jawa) tersebut tampak dalam nukilan KP sebagai berikut :

“Terbuka !”, teriak perempuan itu kegirangan. “Aku telah membuka tabir. Tabir menyibak.”
…………………………………………….
“ Tabir itu sesungguhnya tidak ada “ gumam permpuan itu, “Perasaan dan mataku saja yang menipuku.” (KP. Hlm. 71)

Pencitraan Tuhan

Pencitraan Tuhan dalam KP tampaknya masih mengandung ambiguitas (Tuhan merupakan pribadi atau tan pribadi, zat mutlak Ilahi yang melebur dalam manusia). Pencitraan Tuhan tampaknya masih belum dapat dipastikan masuk ke dalam kategori monisme-pantheisme secara mutlak.

Ya, Allah
Undanglah daku
Dalam satu meja makan
Di mana terhidang segala makanan,
Kasih sayang
Dan gurau bersahut-sahutan
Lalu engkau berkata dengan senyum merekah
“Marilah kita bicara tentang segalanya”
Sejenak tangan kiri kita masing-masing berpegangan
Pada bibir meja
Engkau julurkan secangkir teh kepadaku
Dan ketika jari-jarimu menggeser jari-jariku
Aduhai, perasaan bahagia menyelinap
Di hati kita masing-masing tanpa kita sadari.
(KP. Hlm 70).


“O, Pohon Hayatku ! O, Permata Cahayaku,” hati perempuan itu menyanyi. “Lihatlah ! Lihatlah ! Aku lari keharibaanMU Aku memenuhi undanganMu. Aku terima pinanganmu. Sambutlah ! Sambutlah !” (KP. Hlm 70).


Maka, timbul pertanyaan apakah Danarto konsisten terhadap monisme dan pantheisme yang dibangunnya dalam KP atau tidak. Artinya, sebenarnya theisme (Tuhan=alkhalik, manusia=hambanya) juga dibangunnya dalam cerpen tersebut. Ataukah Tuhan yang berpribadi merupakan suatu personifikasi ?

Dalam hal ini, bangunan monisme dan pantheisme memang tidak dipertahankan secara kaku oleh Danarto. Kiranya, Tuhan yang dipersonifikasikan sebagai pribadi memiliki tendensi agar monisme dan pantheisme yang dibangunnya tidak terjatuh pada materialisme dan konsepsi teoritik saja.

Religiusitas Otentik

Yang terjadi bagi dia menjadi lambang yang boleh jadi tidak terjadi, tetapi yang dihayati, penghayatan manusia selaku keseluruhan dari kemungkinan-kemungkinan manusia potensial (dalam Der Man ohne Eigenschaften)

Karya sastra, pada hakekatnya, tidak muncul dari sesuatu yang serba kebetulan. Karya sastra sebenarnya muncul berangkat dari sebuah penghayatan manusia yang tertentu dan otentik, bahkan dapat dikatakan berangkat dari religiusitas tertentu.
Gerak peristiwa demi peristiwa dalam KP yang berlangsung secara evolusioner menuju suatu titik puncak dan penyelesaian yang bertanggung jawab merupakan suatu gejala religiositas yang otentik. Hal ini juga diperkuat dengan penanggalan pengalaman kebatinan dari agama.


“Dini hari itu aku merasakan kesyahduan yang sangat. Hingga terasa olehku kolong jembatan adalah gereja masjidku yang penuh harapan di masa depan. Walau tiang-tiangnya telah rapuh hingga aku khawatir bila mulai tidur di bawahnya, ia merupakan rumah Tuhan yang kucintai dengan kekalnya.” (KP. Hlm 54).

KP sebenarnya merupakan salah satu jawaban yang ditawarkan oleh Danarto kepada pembaca atas pertanyaan bagaimana manusia berhadapan dengan hakekatnya dan memberi wujud yang paling bermakna bagi hidupnya. Manusia yang merupakan kesatuan realitas batin dan lahir hendaknya semakin mengolah diri ke dalam dan ke luar. Ke dalam berarti mengolah dan semakin menyelami batinnya, dan keluar berarti mengambil sikap yang tepat dalam hubungan sesama dan lingkungan (alam). Secara khas, jawaban tersebut terangkai dalam suatu parabel religius yang jelas telah ditanggalkan dari (simbol-simbol) agama.

Sebuah pertanyaan bagi kita, “ Bagaimana kita menghayati Tuhan secara pribadi, terlepas dari isme-isme dan dogma-dogma agama ?”


REFERENSI

Collins dan Farrrugia
1990 Kamus Teologi, Yogyakarta, Kanisius

Danarto
1987 Godlob, Kumpulan Ceerpen, Jakarta, Grafiti Pers

Mangunwujaya, YB
1982 Sastra dan Religiusitas, Jakarta, Sinar Harapan

Suseno, Franz Magnis
1982 Etika Jawa, Jakarta, Gramedia

Zoetmurder, JP.
1990 Manunggaling Kawula Gusti: Pantheisme dan Monisme dalam Sastra dalam Sastra Suluk Jawa, Jakarta , Gramedia.

Demi Rintihan aku bangun lalu tertidur

Oleh Rilie Aditya

Terkadang buah itu manis
Bukan rasa tapi makna
Bilang saja merah
Hingga merekah

Masih ada tandus
Gersang, panas tak terbilang
Debu-debu bercampur
Hawa panas kian menyengat

Tapi hijau kesejukan
Kenapa tak bilang indah
Hingga birunya langit cerah
Gunung-gunung menjulang tinggi
Beriaknya air bercengkrama
Dengan gembira penuh damai walau syahdu

Dan tunggulah
Karena malam pun kini tlah sunyi
Hingga waktu dalam hitungan detik
Seirama dengan nyanyian buaian mimpi

Jika ada! Tertungkup aku malu dalam sekejap

Jogjakarta, September 27th, 2002

Kukenangmu

Oleh Andy SW
kepada nona Erlita, tapi bisa buat semua, haha!



Pernah ketika siang
Aku menyapamu di sebuah kedai kecil
Tempat biasa aku melepas rasa lelahku.
Kau tersenyum sambil berlalu
Setelah itu, senyummu terbang tertiup
Angin ke arahku.
Bergegas kutangkap dan ku bawa lari ke foto copy.
Terima kasih.
Aku laminating senyummu menjadi hiasan dompetku.

Jogja, menjelang musim penghujan 2002

ANCOL DREAMLAND

Oleh Bayu Aji Wisnugroho


Di satu malam seorang penulis menangisi buku hariannya lantaran ia usai membaca ulang tulisannya yang bercerita tentang satu peristiwa yang menggores hatinya. Ditujukannya cerita itu pada ibunya yang telah berada di surga. Begini:

Kagem Ibu di surga.

Ibu, malam berarak tak mengusung bulan. Jubahnya hitam mengkelam sebab tabur bintang juga tak berteriak lantang.

Ijinkan aku mencumbu keluh dan meratap diri di malam ini. Sebab semenjak peristiwa itu, hampir seluruh curam, terjal, dan tikung dunia harus aku lalui sendiri. Berbongkah dan berbukit rasa sepi yang dingin serta membisu harus kulewati. Pada jalannya, selalu terciumi cekam yang tak pasti. Harus dengan apakah kukikis sepi ini? Dimana pula harus kusandarkan cekam ini, Ibu? Ketika semuanya tak menyahut, apalagi menggegam, janji setia yang pernah dikumandangkan. Termasuk ia, istriku, yang pada awalnya, tak sungkan membukakan hati untukku telah menusukku. Seolah telah memaksaku untuk meyakini bahwa setangkup hati ternyata tidak hanya bisa menyetiai, seperti kerlip lampu kota yang setia pada malam, tetapi ia juga menyimpan kemungkinan untuk mendusta. Dan itu sungguh menyakitkan. Adakah ini sebagai pertanda bahwa dosa telah menelungkupiku?

**

Padahal sebelum itu, untuknya pernah kubawakan kembang ungu dan puisi biru. Namun ia menampiknya.

Gugatnya, “Kamu cipta keindahan untuk orang-orang tetapi tidak untukku!”

“Kembang ungu, puisi biru, itu hanya untukmu darling!”

“Palsu!” sahutnya sengit.

“Hanya kembang kertaslah yang menyimpan palsu. Dan untukmu tak pernah kuberikan itu!” jelasku.

Tukasnya lekas, “Masa bodoh!”

Lantas ia membanting pintu sambil bersumpah tak akan kembali lagi lantaran pernah kutemukan foto lelaki di dalam tas kerjanya.

Batinku dikala itu, “Ia menyuruhku menjumpai sendiri pagi yang lain.”

Dan memang saat aku bersua dengannya, ia, pagi, terasa sungguh sangat getir.

**

Perkara foto itu, aku tak memerlukan untuk menanyakan padanya. Sebab aku telah menduganya sejak ia tak pulang malam, untuk yang ketiga kalinya, melainkan pagi di hari berikutnya. Alasannya, client meminta copy brief mesti selesai di hari itu juga. Aku putuskan untuk tidak mendebatnya. Meski begitu, burung hantu akhirnya merampas sebagian malam. Ranjang menidurkan siang dan dengan sisa malam aku sisiri pedalaman. Pernah di selanya, gagang telepon menyalak kagetkanku. Lantas saat aku angkat, kudengar suara lelaki yang memberat, “Bisa bicara dengan Shinta?”

Lelaki bersuara memberat, sesungguhnya kesabaranku mulai berkarat. Aku ancam ia dengan gertak, “Jangan recoki rumah tangga kami kalau tak ingin kupelintir lehermu!”

Lantas suara memberat itu tak pernah menyusup lagi. Walau begitu ia, istriku bagai meninggaliku semak belukar lantaran perginya selalu mengkhawatirkan. Kala ingin kuketahui tentang telat pulangnya.

“Kok sampai jam segini sih Yang?”
“Untuk siapa aku bekerja kalau bukan untuk kamu!” gertaknya.
Ia malah melabrakku. Juga dengan matanya.


Aku lelaki kelabu. Seribu malu memercik ke mukaku. Inginku tak seperti itu, Ibu. Meskipun menurutnya, sebagian hidup penulis hanya akan dituntaskan untuk menunggu lirikan mata para redaktur media massa. Tak pasti dan tak teratur. Padahal satu kali pun ia belum pernah mengataiku seperti itu sebelumnya, sebelum seseorang mengantarkan suaranya dalam gulita. “Tak perlu kamu ambilkan pelangi untukku. Berikan saja padaku halaman berpayung perdu sebagai tempat bagi anak-anak untuk mlayu-mlayu dengan kemayu” pintanya. Itu telah kusanggupi, artinya aku tak hanya menjanji, tetapi, aku berhasil mewujudkannya. Bahkan tidak hanya berpayung perdu namun juga berpagar siku. Tapi ia malah mlayu dariku. Walau anak yang diinginkan juga belum dihadirkan bersamaku.

Sebagi seorang copy writer yang kreatif dan ber-ide brilian, gajinya memang membumbung jauh melampauiku. Tidak berbanding lagi barangkali. Selain itu, setiap bulannya ia dapat menerimanya secara teratur. Berbeda dengan aku lantaran gajiku, honorarium, hanya akan aku terima bila artikel, cerpen, dan semacamnya yang telah kukirimkan ke beberapa media massa dimuat. Apakah karena hal itu ia menduakanku dengan tak segan, dan akhirnya, berlari meninggalkanku?

Ibu, bila aku menginginkan, sejak dari dulu, hadirnya sesosok perempuan yang menyerupaimu di dalam kalbuku. Tak saja lakunya, tetapi juga perasaannya. Karena bagiku, dirimu adalah perempuan yang tak pernah menjadi surut. Bukan saja terampil mendidik anak maupun tangkas dalam memasak, namun juga kesetiaan yang tiada tertandingi pada mendiang Bapak, suamimu. Pernah aku rasakan dari pancar rautmu tatkala kamu mengelapi tiap gurat bibir bapak yang berlumuran busa kala itu. Lembut sekali kamu usap guratnya. Seolah seperti sembari berkata, “Bagi lelaki yang telah kupilih, cintaku tak akan pernah beralih.” Seusai itu dirimu mencuci kain lapnya di wastafel, membilas dan memerasnya agar air yang mersapi mau segera pergi, serta akhirnya, dirimu mengeringkannya melalui sinar matahari pagi yang menyelorot di samping koridor rumah sakit. Telaten sekali. Telaten pada kesetiaan itu indah sekali. Kuyakini juga seperti itu tatkala dirimu telah bertemu dengannya di surga sana.

Ia memang tidak pernah tahu kalau aku menginginkannya berlaku sepertimu, perempuan setia yang tiada pernah mendua. Tetapi aku menyimpannya di dalam hati saja. Lagi pula, saat aku dan ia masih pacaran dulu, satu kalipun ia belum pernah berpaling dariku. Melirik pada yang lainpun aku rasa juga belum pernah. Lantaran kesetiaan telah didendangkan, dan saat itu aku telah yakin tak salah memilihnya, aku putuskan untuk menikahinya. Tirai disibakkan sebab kebersamaan telah dijala. Masih kuingat, kawan-kawan turut pula menyumbangkan ode pada pernikahan kami. Lantas setelahnya, separuh tahun berjalan seperti ini: ia bekerja, begitu juga aku. Ia berada di luar rumah, sedangkan aku tidak. Semuanya tak apa-apa dan tak menjadi persoalan. Termasuk pula ketika kami piknik ke Ancol Dreamland. Saat itu ia berseru manja, “Kita adalah pasangan muda yang saling setia dan bahagia!”

Tetapi keinginan itu, keinginan untuk memiliki sosok seperti dirimu semakin memancar kuat tatkala aku disergap ragu. Bahwa mungkin memang tiada ada satupun yang mampu menjadi seperti dirimu, termasuk ia. Pun dalam hal kesetiaan yang tak surut. Itu kurasakan setelah burung hantu memuja namanya lewat suaranya yang tak kulupa. Pernah tatkala keinginan untuk disetia makin mendesak-desak, sekalian agar bahtera tak terlanjuf jadi lebur, untuknya pernah kuberi tawaran. Malam itu aku lihat ia telah selesai melembur copy iklan produk klien-nya. Kuhampiri punggungnya.

“Sayang, aku hargai kerja kerasmu!” Lalu kehembus lirih di dekat cupingnya, “Begitu pula, tak sulit buatmu’kan jika aku meminta kamu untuk menghargaiku?”

Ia diam saja. Setelah itu ia menulis lantaran itu dirinya menjadi nangis. Kuputuskan sesobek pengkhianatan yang cantik.

Demikian Ibu, salam kagem Bapak.

Lantas di malam itu juga, si penulis mengetik tulisan di buku hariannya itu, dengan tanpa sedikitpun mengubahnya, untuk dikirimkan pada redaktur sebuah koran.

P E N C U R I

Oleh J. P r a p t a D i h a r j a


Dia benar-benar telah gila, kata orang. Memang, sebelumnya sudah tampak gejala-gejalanya, tapi orang tak menyangka akan sampai seperti itu. Tetangga-tetangganya hanya mengira bahwa hal seperti itu biasa terjadi pada orang-orang setua dia. Kata mereka, orang sejompo dia tindakannya kembali seperti anak kecil.

Kemarin, dia tertatih-tatih dengan tongkatnya di sekitar rumah sambil menggumamkan serentetan kata-kata yang tak jelas kedengarannya. Mungkin, itu ulangan dari renungan hari-hari sebelumnya, atau renungan yang lebih mendalam dari suatu ayat kitab suci yang sedang mengusik pikirannya.

“Bersiap-siaplah, sebab pencuri akan datang pada suatu ketika yang tak disangka-sangka.”

Ya, sangat aktuil ayat itu untuk ketuaannya. Setiap pagi tak lupa dia selalu duduk di kursi tua mengamati-amati ayat-ayat itu. Dibacanya pelan-pelan; dicobanya meresapkan dalam kalbu; kemudian direnungkan sambil jalan-jalan keluar masuk rumah atau di sekitar halaman rumah.

“Bersiap-siaplah dan berjagalah…”

Ya, sangat aktuil ayat itu untuk ketuaannya. Telah menjadi temannya. Telah menjadi sahabatnya. Ke mana saja selalu dibawanya serta. Lebih-lebih dalam pembicaraan-pembicaraannya.

Pernah, sewaktu pergi melayat, langsung ayat itu dikenakan pada orang yang mati melalui pembicaraan dengan beberapa orang disekitarnya. Demikianlah kata pembukaan,
“Nah, memang maut itu datangnya tak disangka-sangka. Seperti pencuri diwaktu malam. Maka kamu, hai yang masih muda, bersiaplah selalu.”

Lantas ditatapnya satu persatu dengan tajam orang di sekelilingnya. Dia merasa menjadi orang yang paling tua diantara mereka dan paling disegani.

Panjang lebar, dia berbicara mengenai kematian, mengenai arti hidup, dan bagaimana seharusnya menghadapi hidup dan kematian itu. Dikeluarkannya filsafat hasil renungannya. Mulanya, orang hanya acuh dan semaunya saja mendengarkan. Bahkan, orang yang agak jauh tempat duduknya, satu persatu mulai datang mengerumuni orang tua itu. Sampai-sampai, lurah yang menangani upacara penguburan, ikut mendengarkan kotbah pak tua, segera mengatur massa yang sudah lupa pada situasi itu.

Memang, pak tua pandai bercerita dan berfantasi. Masa mudanya telah dilaluinya dengan menjalin beratus-ratus cerita yang sangat memikat perhatian orang sehingga dia pernah terkenal dengan hasil cerita pendek maupun bersambung yang dimuat dalam majalah dan dicetak menjadi kumpulan cerpen dan novel.

Anehnya, akhir-akhir ini, semakin terasa keahliannya berfantasi dan mempersonifikasikan sesuatu itu justru semakin mengganggu batinnya. Justru maut yang biasa dia renungi sekarang semakin hari semakin mempersonifikasikan diri sebagai pencuri yang sering menguntit dan mengintipnya. Kapan lena pasti kena. Perasaan cemas dan takut mulai menggerogoti dirinya. Kadang-kadang, secara misterius, ditengah malam dia terbangun dari tidurnya dengan wajah mencerminkan ketakutan luar biasa. Lantas bingung dan gelisah sampai pagi. Sering juga pada suatu ketika berteriak keras-keras sambil berlari tertatih-tatih. Lebih-lebih, sehari-dua hari ini, dia kerap berteriak sambil berjalan-jalan mundur menoleh ke sana kemari kemudian berusaha berlari sekuat tenaga yang ada padanya seperti dikejar hantu. Dia sungguh merasa di kejar hantu yang bukan main mengerikan.

“Tuan rumah tak tahu kapan pencuri datang.” Ayat itu sekarang dikenakan untuk dirinya sendiri. Itulah sebabnya dia selalu was-was dan cemas. Sangat takut. Itulah sebabnya mengapa orang-orang disekitar menganggap dia sungguh-sungguh telah gila. Laki-laki tua itu terhuyun-huyun dan tertatih-tatih, kemudian menyembunyikan diri dalam kolong ranjang tempat tidurnya. Sebentar kemudian, ia berteriak-teriak lagi. Lari kesana-kemari. Dan seterusnya.

Dia benar-benar dibuntuti pencuri. Siang dan malam. Ya, hantu. Ya, raksasa. Tak lagi dia bedakan antara pencuri, hantu, dan raksasa. Bayangan yang semakin jelas di samping berujud pencuri yang selalu menguntit, sekaligus hantu yang sangat mengerikan. Juga raksasa. Dua mata besar-besar melotot; giginya, hiiii … ngeri!


Tapi, orang-orang sekitar tak mengerti persoalannya. Mereka menuduhnya gila. Ah, suatu kontradiksi yang sangat tajam. Bahkan, anak cucunya sendiri serta keluarganya menganggapnya demikian pula.

Sejak tadi, pagi ada saja orang yang selalu datang. Entah mau ikut berusaha membantu keluarga mengatasi keadaan itu, maupun menyatakan ikut bingung, ikut berduka cita pada keluarganya atas kejadian itu. Yah, setidaknya memberikan perhatian. Memang, sesuatu yang aneh dan selalu menarik.

Makin lama makin banyak orang berkerumun di halaman rumah pak tua.

“Saudara-saudara, bersiap-siaplah….”

Seketika itu, semua orang terdiam. Kemudian, pak tua mulai berkotbah. Dia menuangkan segala hasil renungannya yang telah diolah masak-masak. Tentang apa arti hidup, bagaimana menghadapi hidup, apa itu kematian, dan sebagainya.

“Saudara-saudara! Saya tidak gila. Saya sedang bertahan memperjuangkan rumah.” Kemudian, orang berbondong-bondong membuntutinya. Pak tua masuk kamar lukis anaknya. Dikuncinya dari dalam.

Rombongan depan yang berbondong itu berhenti di muka pintu. Mereka berebut mengintipnya lewat lubang kunci. Apa yang mereka lihat? Pak tua sedang mengaduk cat. Entah apa kelanjutannya, tidak jelas. Mereka lama menanti di luar sambil gelisah, bertanya-tanya, dan beromong-omong di situ.


Pada waktu mereka sudah banyak pulang dan yang tinggal sedikit, sudah lelah menanti pak tua, tiba-tiba pak tua keluar membawa kain kanvas. Wajahnya berubah sama sekali: berseri-seri serta ada kepuasan di dalam dirinya. Kemudian, pak tua menunjukkan gambar suatu mahluk yang sangat mengerikan. Diangkatnya gambar itu.

“Inilah pemcurinya. Saya sudah tangkap. Kini, saya serahkan kepadamu. Adililah dia!”

Orang-orang menatap mahluk itu dengan sangat tajam. Gumam mereka, “Mengerikan sekali. Mengeryit sinis. Matanya, giginya, kerut-merut wajahnya dan rambutnya yang merah itu membentuk suatu wajah dasyat.”

Kini, orang-orang secara gaib merasakan kengerian pak tua. Satu persatu, mereka mengundurkan diri. Tiba-tiba, mereka lintang-pukang sambil berebut meninggalkan tempat itu. Anaknya –yang seniman- menggelengkan kepala.

“Masakan, ayah bisa melukis seindah itu. Padahal, sebelumnya, sama sekali tak pernah menyentuh kwas maupun cat. Heran, tiba-tiba ayah menjadi pelukis besar.”

“Saya lelah sekali. Saya mau tidur. Pencuri telah tertangkap.” Sembari berkata demikian pak tua merebahkan diri ke lantai. Anak cucu beserta kelurganya ribut mengerumuninya. Dibawanya tubuh tua itu ke atas ranjang. Hari telah semakin senja.

Paginya, tersebar berita bahwa pak tua meninggal dunia. Pencuri telah benar-benar datang pada waktu tuan rumah itu lengah. Dalam beberapa hari saja, lukisan almarhum telah menjadi sorotan, bahkan bahan penyelidikan, dan pembicaraan oleh pelukis-pelukis besar di segala kota.

Surat kabar dan majalah-majalah pun tak henti-hentinya memuat lukisan pak tua yang misterius dan sunggguh-sungguh hidup itu. (Secara resmi pak tua diakui oleh khalayak sebagai pelukis improvisasi terbesar.)

SANG TOKOH*

J. Prapta Diharja

Oleh Cindy Hapsari dan Ag Wahyu Wibowo


Pada mulanya kertas kosong. Ia mulai menggoreskan alat tulisnya pelan-pelan, tapi pasti. Kata demi kata. Baris demi baris. Dilewatinya tanpa banyak kesukaran. Dimunculkannya seorang tokoh yang belum punya nama. Hanya dikatakan seseorang.

Ia berkulit sawo matang. Jauh dari tinggi apalagi besar. Ia sama seperti kebanyakan orang Jawa lainnya yang dilahirkan diperiode pertengahan 1950-an. Jika boleh diibaratkan ia adalah miniatur menara Eiffel dalam bentuk lain.

Dari seseorang lalu dibukanya tabir sedikit demi sedikit. Mulai dari kebiasaannya. Lalu kesenangannya. Kelebihannya. Kelemahannya. Lalu latar belakang dan sifat-sifat yang lainnya. Dengan begitu. Semakin jelas dan tegas identitasnya.

Laki-laki ini anak seorang petani di daerah Wedi, Klaten. Ia pun lahir di sana –kota yang berjarak beberapa kilometer dari timur Jogja- lalu dikenal dengan nama Suprapto. Tapi seumuran ini ia lebih banyak diceluk` Pak Prapto atau Romo Prapto oleh umatnya. Ya, orang ini atau kita sebut saja pak Prap, adalah seorang Jesuit. Tergabung menjadi anggota Serikat Yesus dan berkarya di dalamnya merupakan jalan hidup yang ia pilih: melayani umat, mengajar dan mengerjakan beberapa hobi macam menulis, menanam anggrek dan akhir-akhir ini, motret.

Mudah untuk melanjutkan ceritanya. Tinggal menjabarkan sifat-sifatnya. Maka, semakin lama semakin lancar saja penulis menggoreskan penanya di atas kertas. Bagitu enak menuangkan ide-idenya dari benak. Seolah meluncur begitu saja, tak banyak pertimbangan. Seperti orang melepaskan kata-kata pada waktu mabuk. Sehingga kesadaran pengarang mulai mengabur. Telah menyatu dan melebur bersama tokoh yang semakin hidup.

Dia senang menulis bahkan sejak di bangku sekolah menengah pertama. Pilihan lalu ditetapkan. Pak Prap menggunakan sastra sebagai salah satu mediasi untuk melukis segala yang ada dalam rasa. Kontemplasi hidup mengejewantah dalam kata-kata dan dibagikan gratis bagi sesama melalui jalur itu.
Pak Prap adalah seorang yang sederhana, dalam tutur, rupa, dan dalam hidup kesehariannya. Cerita-cerita yang ia buat pun berasal dari hal-hal kecil yang ditemuinya dalam sekian persinggungan hidup yang bagi orang lain mungkin terkesan terlalu sederhana atau malahan ordinair. ‘Hampir biasa-biasa saja’ mungkin kalimat paling tepat untuk menggambarkannya. Di tengah kesibukannya sebagai dosen Bahasa dan Sastra Universitas Sanata Dharma –juga sebagai pastor-, ia selalu sempat menyisihkan waktu untuk mulai merangkai ide-ide dan kegelisahannya dengan menulis.

Kini sosok sang tokoh itu telah semakin mengental di dalam pemaparan ceritanya. Lebih-lebih di benak penulis. Tokoh yang ia ciptakan telah menjadi tokoh yang semakin lincah. Tokoh yang cerdas. Punya inisiatif dan kreatif. Dia menciptakan tokoh yang lebih pandai dari pada penulisnya sendiri. Karena lebih pandai dan lebih kreatif dari penulisnya, maka tokoh itu juga lebih berani. Bahkan kadang-kadang nakal. Sekali-kali ia berani mengusulkan idenya ke benak pengarangnya. Gagasan-gagasan yang kadangkala aneh dan kurang masuk akal. Tidak hanya itu. seringkali si peran utama itu mencuri-curi kesempatan di kala penulis lengah.

Dulu pada masa novisiat pak Prap sempat membuat puisi. Puisi-puisi tersebut tergeletak begitu saja diraknya sama seperti karya-karyanya yang lain. Tidak begitu puas, ia lalu melancong ke cerpen dan kemudian mengembara ke cerita-cerita yang lebih dalam, lebih panjang. Tualang adalah salah satu karyanya yang pernah ia publikasikan dan di muat di majalah HIDUP. Cerita setebal 409 halaman kwarto itu rencananya masih akan di revisi dan mungkin akan dijadikan buku. Dalam cerita ini pak Prap bertutur mengenai keresahan anak manusia ketika harus berturbulensi dengan ke-diri-an serta semesta raya yang melingkupinya. Prolog filsafat kelahiran dalam bingkai metropolisnya Jakarta yang digunakan pak Prap sebagai latar belakang menjadikan dinamika kisah ini semakin hidup.

Tokoh menghendaki ada teman-teman sepermainan, yaitu tokoh-tokoh lain agar cerita berlangsung tidak monolog, tetapi dialog. Maka atas usul (desakan) sang tokoh, penulis memunculkan tokoh-tokoh lain. …Tahu-tahu, disadari penulis, tokoh utama semakin asing saja baginya. Berubah peran dan sifat-sifatnya. Sastrawan semakin heran dan ragu. Dalam hatinya yang paling dalam mulai menyimpan kecemasan.


Absurd dan kenes! Dua hal itu yang barangkali terasa ketika membacai karyanya. Apa yang diolahnya tidak sesederhana apa yang dilihat dengan mata biologis kita. Pertarungan manusia dalam menentukan nilai yang diimani maupun diamini tampak kental dalam tiap karya pak Prap. Sebut saja “Perang” atau “Seruling Senja”. Dalam cerita pertama diceritakan ketika seorang ayah yang pernah mengabdikan diri pada gugus depan kemiliteran harus bertarung dengan kenyataan bahwa dirinya tidak dapat membedakan batas “realitas semu” dan “realitas nyata” dalam kesehariannya. Cerita menjadi tragis ketika harus ditutup dengan kenyataan bahwa si ayah toh akhirnya menembak pelipis anak kandungnya yang baru berkembang menggemaskan dengan sebuah revolver. Si ayah bukan lagi seorang pecundang tetapi ia adalah seorang yang bodoh karena telah didungui kehendak anonimnya.
Metafor mengenai kisah anak gembala dalam “Seruling Senja” pun menarik diamati. Seperti pernyataan pak Prap mengenai penulis yang dikaguminya –selain Iwan Simatupang dan seorang sastrawan Belanda Slaoerhoff-, kita akhirnya akan dapat –semacam- bertemu ‘Danarto dalam bentuk lain’. Sesuatu yang transenden digambarkan apik dengan meminjam petualangan masyarakat yang terbiasa menganggap sesuatu yang tak biasa –tak terjelaskan- sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja. Bau mistis dan sufis dalam cerpen ini sedikit menyenggol kita untuk tidak begitu saja memaklumi hal-hal yang rutin mengada tanpa memepertanyakannya lebih lanjut.

Memang, kata-kata semakin meluncur. Deras seperti arus sungai. Tetapi benarkah ide-ide yang keluar itu betul-betul idenya sendiri? Sebentar-sebentar ia berhenti menulis. Ragu.

Hingga sekarang Pak Prap tidak pernah merencanakan kapan karyanya harus dibukukan. Sambil malu-malu dia bilang “semua ada waktunya”. Pak Prap seperti menyerahkan diri pada tangan angin dan membiarkan apakah ia kelak akan dilempar ke tanah yang gembur-subur atau kerontang sekalipun. Sepertinya ia percaya sungguh bahwa ada rencana baik telah tersusun untuk dirinya dan apapun rencana itu ia tampak sudah sangat siap menghadapinya. Buat seorang modern hal itu mungkin menggemaskan. Hampir tak ada greget sama sekali ketika wacana itu digelindingkan. Tetapi jika saja kita sempatkan diri untuk melongok lebih jauh, hal paling minimal yang terlihat dari pernyataan itu adalah perkara setia!
Pak Prap bilang perkembangan sastra Indonesia macet. Masalahnya juga karena kesetiaan. Banyak penulis muda tidak setia. Mereka tidak mengakar. Dan ketika kesetiaan setiap penulis muda untuk melalui sebuah proses menjadi begitu tipis dalam setiap pembuatan karya, hal itu menjadikan apa yang diciptakannya tidak semenarik karya-karya sastra dunia atau sastra Indonesia medio pertengahan. Ketidakberaniaan para penulis muda berdialektik dengan turbulensi hidup menyebabkan pak Prap hanya berani menyebut nama-nama macam Pramoedya Ananta Toer, Remy Silado, Iwan Simatupang dan genre-genre baru model Saman-nya Ayu Utami yang memang sudah sangat kerap kita dengar di blantika sastra Indonesia.

Tetapi menulis adalah kewajiban. Kadangkala memang ingin dia terbebas dari kewajiban menulis. Toh tak sampai hati. Bila ada dorongan dari dalam yang mendesaknya untuk menulis, menulislah ia sesuai dengan apa yang didorongkan dari dalam. Ilham baginya menjadi semacam kemutlakan.

Dengan rendah hati ia bertutur bahwa dirinya masih selalu belajar dalam proses menulisnya dan setia menyempurnakan karya yang sudah ia tulis. Tidak mengherankan kalau kemudian puluhan cerita pendek dan puisi, juga novel yang sudah ia tulis mengarsip saja di rak bukunya. Malahan ia harus membongkar dulu tumpukan bukunya ketika “Jalur Pitu” hendak meminjam karya-karyanya.
Pak Prap adalah seorang yang sederhana, sesederhana keinginannya untuk terus bisa menulis. Sebuah kesetiaan yang disandarkan bahwa sastra dapat digunakan untuk berbagi, berdialog, berkontemplasi. Kini harap kita hanyalah satu: menunggu pak Prap mau berbagi lewat sekian karyanya.
Ya, akhirnya selamat berdialektik dan bertubulensi dengan hidup pak Prap… !!

Akhirnya bobolah pertahannya oleh musuh. Dia telah menyelesaikan klimaksnya dengan tuntas tanpa dikehendakinya. Sang Tokoh telah menang. Telah terlaksana niatnya. Penulis yang kalah perang terkulai lemas, kehabisan tenaga. Entah sampai kapan dia akan bangun.

Catatan untuk tanda*

Sang Tokoh adalah salah satu cerpen yang dibuat oleh J. Prapta Diharja. Semua bagian yang dicetak miring adalah bagian dari cerpen dengan judul yang sama.

Di Tepi Kali Bekasi

Oleh Aris Darmawan




Judul buku : Di Tepi Kali Bekasi
Penulis : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Lentera Dipantara, Jakarta
Cetakan : V (revisi), 2003
Tebal : 262 hlm




Ben Anderson, seorang Indonesianis asal Amerika, dalam disertasinya, Java in A Time of Revolution 1944-1946 mengisahkan para pemuda Indonesia waktu itu ramai-ramai mendeklarasikan berdirinya laskar-laskar untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamasikan oleh Soekarno-Hatta. Soe Hok Gie menyebut heroisme pemuda Indonesia waktu itu sebagai “the young angry men”—pemuda yang bergejolak. Gejolak pemuda inilah yang juga dipotret dengan sangat apik oleh Pramoedya dalam buku ini. Pram menyebut buku ini sebagai sebuah epos tentang revolusi jiwa Angkatan Muda: revolusi dari jiwa jajahan, jongos, hamba dan babu menjadi jiwa merdeka.

Revolusi jiwa inilah yang ditampilkan Pram melalui tokoh Farid. Farid, anak muda belia, adalah protagonis yang walaupun labil namun memiliki semangat membara untuk membela tanah airnya. Di tengah desakan kehidupan pragmatis yang dipinta dan didesakkan oleh ayahnya, Farid melangkah tegar menuju medan pertempuran untuk membuktikan keyakinannya bahwa anak muda juga bisa melakukan sesuatu untuk kepentingan bangsa dan negara. Oleh Pram, Farid direpresentasikan sebagai anak muda yang progresif, sedangkan ayahnya adalah representasi dari Angkatan Tua yang memiliki sikap lembek dan hanya mengais untung dan titip nama dalam ritus panen pascarevolusi.

Melalui buku ini, Pram ingin mengatakan bahwa proposal masa depan bangsa dan negara berada di tangan Angkatan Muda. Merekalah kelompok garda depan yang menjadi kekuatan penggerak, yang bangkit menjadi pemutar baling-baling sejarah masa depan. Sejarah, seperti diungkapkan Pram, adalah rumah tempat kita berangkat.

Klandestin di Chile

Oleh Aris Darmawan



Judul buku : Klandestin di Chile
Penulis : Gabriel Garcia Marquez
Penerbit : Akubaca, Jakarta
Cetakan : I, 2002
Tebal : 174 hlm



Buku ini ditulis Gabriel Garcia Marquez, penulis Kolombia berdasarkan hasil wawancaranya dengan Miguel Littin, seorang warga negara Chile yang dilarang pulang ke negerinya sendiri oleh pemerintahan diktator Augusto Pinochet. Marquez bahkan butuh waktu selama 18 jam untuk merekam setiap jejak yang berderit dari kisah petualangan Littin tersebut Dikisahkan, di awal tahun 1985, Littin nekat menempuh bahaya dengan menyelinap masuk ke negerinya selama 6 minggu. Dengan mengubah penampilannya sebagai pengusaha sukses dari Uruguay, Littin masuk ke tanah kelahirannya, dengan menggunakan paspor palsu, dan dengan aksen Uruguay yang pas-pasan.

Dengan penampilan barunya itu, Littin harus bisa menekan seluruh perasaannya ketika ia berjumpa dengan kawan-kawan terdekat dan keluarganya yang masih tinggal di Chile. Bahkan ibunya sendiri sempat pangling dengan penampilan anaknya itu ketika Littin memberanikan diri menyelinap ke rumah orangtuanya. Di tanah kelahirannya itu, Littin memimpin tiga kru film dari Italia, Perancis dan Belanda yang masing-masing tidak saling kenal, dan bahkan mereka tidak tahu bahwa dialah sutradara mereka (Littin menyutradarai dengan perantaraan orang lain dan hadir di tengah-tengah pengambilan gambar sebagai orang yang tidak dikenal). Bersama timnya, Littin melakukan pengambilan gambar sepanjang 100.000 kaki, termasuk ruang kerja sang diktator, dan hasil akhirnya adalah sebuah film dokumenter dengan durasi empat jam yang diberi judul Acta General de Chile (Pernyataan Terakhir tentang Chile).

Meski menjadi orang yang terbuang dari negerinya sendiri, bagi Littin tanah air seseorang adalah tempat di mana ia dilahirkan, tempat di mana seseorang memiliki sahabat, tempat di mana ada ketidakadilan, dan tempat di mana seseorang dapat mengkontribusikan kemampuan seninya.