Minggu, 07 Oktober 2007

ANCOL DREAMLAND

Oleh Bayu Aji Wisnugroho


Di satu malam seorang penulis menangisi buku hariannya lantaran ia usai membaca ulang tulisannya yang bercerita tentang satu peristiwa yang menggores hatinya. Ditujukannya cerita itu pada ibunya yang telah berada di surga. Begini:

Kagem Ibu di surga.

Ibu, malam berarak tak mengusung bulan. Jubahnya hitam mengkelam sebab tabur bintang juga tak berteriak lantang.

Ijinkan aku mencumbu keluh dan meratap diri di malam ini. Sebab semenjak peristiwa itu, hampir seluruh curam, terjal, dan tikung dunia harus aku lalui sendiri. Berbongkah dan berbukit rasa sepi yang dingin serta membisu harus kulewati. Pada jalannya, selalu terciumi cekam yang tak pasti. Harus dengan apakah kukikis sepi ini? Dimana pula harus kusandarkan cekam ini, Ibu? Ketika semuanya tak menyahut, apalagi menggegam, janji setia yang pernah dikumandangkan. Termasuk ia, istriku, yang pada awalnya, tak sungkan membukakan hati untukku telah menusukku. Seolah telah memaksaku untuk meyakini bahwa setangkup hati ternyata tidak hanya bisa menyetiai, seperti kerlip lampu kota yang setia pada malam, tetapi ia juga menyimpan kemungkinan untuk mendusta. Dan itu sungguh menyakitkan. Adakah ini sebagai pertanda bahwa dosa telah menelungkupiku?

**

Padahal sebelum itu, untuknya pernah kubawakan kembang ungu dan puisi biru. Namun ia menampiknya.

Gugatnya, “Kamu cipta keindahan untuk orang-orang tetapi tidak untukku!”

“Kembang ungu, puisi biru, itu hanya untukmu darling!”

“Palsu!” sahutnya sengit.

“Hanya kembang kertaslah yang menyimpan palsu. Dan untukmu tak pernah kuberikan itu!” jelasku.

Tukasnya lekas, “Masa bodoh!”

Lantas ia membanting pintu sambil bersumpah tak akan kembali lagi lantaran pernah kutemukan foto lelaki di dalam tas kerjanya.

Batinku dikala itu, “Ia menyuruhku menjumpai sendiri pagi yang lain.”

Dan memang saat aku bersua dengannya, ia, pagi, terasa sungguh sangat getir.

**

Perkara foto itu, aku tak memerlukan untuk menanyakan padanya. Sebab aku telah menduganya sejak ia tak pulang malam, untuk yang ketiga kalinya, melainkan pagi di hari berikutnya. Alasannya, client meminta copy brief mesti selesai di hari itu juga. Aku putuskan untuk tidak mendebatnya. Meski begitu, burung hantu akhirnya merampas sebagian malam. Ranjang menidurkan siang dan dengan sisa malam aku sisiri pedalaman. Pernah di selanya, gagang telepon menyalak kagetkanku. Lantas saat aku angkat, kudengar suara lelaki yang memberat, “Bisa bicara dengan Shinta?”

Lelaki bersuara memberat, sesungguhnya kesabaranku mulai berkarat. Aku ancam ia dengan gertak, “Jangan recoki rumah tangga kami kalau tak ingin kupelintir lehermu!”

Lantas suara memberat itu tak pernah menyusup lagi. Walau begitu ia, istriku bagai meninggaliku semak belukar lantaran perginya selalu mengkhawatirkan. Kala ingin kuketahui tentang telat pulangnya.

“Kok sampai jam segini sih Yang?”
“Untuk siapa aku bekerja kalau bukan untuk kamu!” gertaknya.
Ia malah melabrakku. Juga dengan matanya.


Aku lelaki kelabu. Seribu malu memercik ke mukaku. Inginku tak seperti itu, Ibu. Meskipun menurutnya, sebagian hidup penulis hanya akan dituntaskan untuk menunggu lirikan mata para redaktur media massa. Tak pasti dan tak teratur. Padahal satu kali pun ia belum pernah mengataiku seperti itu sebelumnya, sebelum seseorang mengantarkan suaranya dalam gulita. “Tak perlu kamu ambilkan pelangi untukku. Berikan saja padaku halaman berpayung perdu sebagai tempat bagi anak-anak untuk mlayu-mlayu dengan kemayu” pintanya. Itu telah kusanggupi, artinya aku tak hanya menjanji, tetapi, aku berhasil mewujudkannya. Bahkan tidak hanya berpayung perdu namun juga berpagar siku. Tapi ia malah mlayu dariku. Walau anak yang diinginkan juga belum dihadirkan bersamaku.

Sebagi seorang copy writer yang kreatif dan ber-ide brilian, gajinya memang membumbung jauh melampauiku. Tidak berbanding lagi barangkali. Selain itu, setiap bulannya ia dapat menerimanya secara teratur. Berbeda dengan aku lantaran gajiku, honorarium, hanya akan aku terima bila artikel, cerpen, dan semacamnya yang telah kukirimkan ke beberapa media massa dimuat. Apakah karena hal itu ia menduakanku dengan tak segan, dan akhirnya, berlari meninggalkanku?

Ibu, bila aku menginginkan, sejak dari dulu, hadirnya sesosok perempuan yang menyerupaimu di dalam kalbuku. Tak saja lakunya, tetapi juga perasaannya. Karena bagiku, dirimu adalah perempuan yang tak pernah menjadi surut. Bukan saja terampil mendidik anak maupun tangkas dalam memasak, namun juga kesetiaan yang tiada tertandingi pada mendiang Bapak, suamimu. Pernah aku rasakan dari pancar rautmu tatkala kamu mengelapi tiap gurat bibir bapak yang berlumuran busa kala itu. Lembut sekali kamu usap guratnya. Seolah seperti sembari berkata, “Bagi lelaki yang telah kupilih, cintaku tak akan pernah beralih.” Seusai itu dirimu mencuci kain lapnya di wastafel, membilas dan memerasnya agar air yang mersapi mau segera pergi, serta akhirnya, dirimu mengeringkannya melalui sinar matahari pagi yang menyelorot di samping koridor rumah sakit. Telaten sekali. Telaten pada kesetiaan itu indah sekali. Kuyakini juga seperti itu tatkala dirimu telah bertemu dengannya di surga sana.

Ia memang tidak pernah tahu kalau aku menginginkannya berlaku sepertimu, perempuan setia yang tiada pernah mendua. Tetapi aku menyimpannya di dalam hati saja. Lagi pula, saat aku dan ia masih pacaran dulu, satu kalipun ia belum pernah berpaling dariku. Melirik pada yang lainpun aku rasa juga belum pernah. Lantaran kesetiaan telah didendangkan, dan saat itu aku telah yakin tak salah memilihnya, aku putuskan untuk menikahinya. Tirai disibakkan sebab kebersamaan telah dijala. Masih kuingat, kawan-kawan turut pula menyumbangkan ode pada pernikahan kami. Lantas setelahnya, separuh tahun berjalan seperti ini: ia bekerja, begitu juga aku. Ia berada di luar rumah, sedangkan aku tidak. Semuanya tak apa-apa dan tak menjadi persoalan. Termasuk pula ketika kami piknik ke Ancol Dreamland. Saat itu ia berseru manja, “Kita adalah pasangan muda yang saling setia dan bahagia!”

Tetapi keinginan itu, keinginan untuk memiliki sosok seperti dirimu semakin memancar kuat tatkala aku disergap ragu. Bahwa mungkin memang tiada ada satupun yang mampu menjadi seperti dirimu, termasuk ia. Pun dalam hal kesetiaan yang tak surut. Itu kurasakan setelah burung hantu memuja namanya lewat suaranya yang tak kulupa. Pernah tatkala keinginan untuk disetia makin mendesak-desak, sekalian agar bahtera tak terlanjuf jadi lebur, untuknya pernah kuberi tawaran. Malam itu aku lihat ia telah selesai melembur copy iklan produk klien-nya. Kuhampiri punggungnya.

“Sayang, aku hargai kerja kerasmu!” Lalu kehembus lirih di dekat cupingnya, “Begitu pula, tak sulit buatmu’kan jika aku meminta kamu untuk menghargaiku?”

Ia diam saja. Setelah itu ia menulis lantaran itu dirinya menjadi nangis. Kuputuskan sesobek pengkhianatan yang cantik.

Demikian Ibu, salam kagem Bapak.

Lantas di malam itu juga, si penulis mengetik tulisan di buku hariannya itu, dengan tanpa sedikitpun mengubahnya, untuk dikirimkan pada redaktur sebuah koran.

Tidak ada komentar: