Minggu, 07 Oktober 2007

P E N C U R I

Oleh J. P r a p t a D i h a r j a


Dia benar-benar telah gila, kata orang. Memang, sebelumnya sudah tampak gejala-gejalanya, tapi orang tak menyangka akan sampai seperti itu. Tetangga-tetangganya hanya mengira bahwa hal seperti itu biasa terjadi pada orang-orang setua dia. Kata mereka, orang sejompo dia tindakannya kembali seperti anak kecil.

Kemarin, dia tertatih-tatih dengan tongkatnya di sekitar rumah sambil menggumamkan serentetan kata-kata yang tak jelas kedengarannya. Mungkin, itu ulangan dari renungan hari-hari sebelumnya, atau renungan yang lebih mendalam dari suatu ayat kitab suci yang sedang mengusik pikirannya.

“Bersiap-siaplah, sebab pencuri akan datang pada suatu ketika yang tak disangka-sangka.”

Ya, sangat aktuil ayat itu untuk ketuaannya. Setiap pagi tak lupa dia selalu duduk di kursi tua mengamati-amati ayat-ayat itu. Dibacanya pelan-pelan; dicobanya meresapkan dalam kalbu; kemudian direnungkan sambil jalan-jalan keluar masuk rumah atau di sekitar halaman rumah.

“Bersiap-siaplah dan berjagalah…”

Ya, sangat aktuil ayat itu untuk ketuaannya. Telah menjadi temannya. Telah menjadi sahabatnya. Ke mana saja selalu dibawanya serta. Lebih-lebih dalam pembicaraan-pembicaraannya.

Pernah, sewaktu pergi melayat, langsung ayat itu dikenakan pada orang yang mati melalui pembicaraan dengan beberapa orang disekitarnya. Demikianlah kata pembukaan,
“Nah, memang maut itu datangnya tak disangka-sangka. Seperti pencuri diwaktu malam. Maka kamu, hai yang masih muda, bersiaplah selalu.”

Lantas ditatapnya satu persatu dengan tajam orang di sekelilingnya. Dia merasa menjadi orang yang paling tua diantara mereka dan paling disegani.

Panjang lebar, dia berbicara mengenai kematian, mengenai arti hidup, dan bagaimana seharusnya menghadapi hidup dan kematian itu. Dikeluarkannya filsafat hasil renungannya. Mulanya, orang hanya acuh dan semaunya saja mendengarkan. Bahkan, orang yang agak jauh tempat duduknya, satu persatu mulai datang mengerumuni orang tua itu. Sampai-sampai, lurah yang menangani upacara penguburan, ikut mendengarkan kotbah pak tua, segera mengatur massa yang sudah lupa pada situasi itu.

Memang, pak tua pandai bercerita dan berfantasi. Masa mudanya telah dilaluinya dengan menjalin beratus-ratus cerita yang sangat memikat perhatian orang sehingga dia pernah terkenal dengan hasil cerita pendek maupun bersambung yang dimuat dalam majalah dan dicetak menjadi kumpulan cerpen dan novel.

Anehnya, akhir-akhir ini, semakin terasa keahliannya berfantasi dan mempersonifikasikan sesuatu itu justru semakin mengganggu batinnya. Justru maut yang biasa dia renungi sekarang semakin hari semakin mempersonifikasikan diri sebagai pencuri yang sering menguntit dan mengintipnya. Kapan lena pasti kena. Perasaan cemas dan takut mulai menggerogoti dirinya. Kadang-kadang, secara misterius, ditengah malam dia terbangun dari tidurnya dengan wajah mencerminkan ketakutan luar biasa. Lantas bingung dan gelisah sampai pagi. Sering juga pada suatu ketika berteriak keras-keras sambil berlari tertatih-tatih. Lebih-lebih, sehari-dua hari ini, dia kerap berteriak sambil berjalan-jalan mundur menoleh ke sana kemari kemudian berusaha berlari sekuat tenaga yang ada padanya seperti dikejar hantu. Dia sungguh merasa di kejar hantu yang bukan main mengerikan.

“Tuan rumah tak tahu kapan pencuri datang.” Ayat itu sekarang dikenakan untuk dirinya sendiri. Itulah sebabnya dia selalu was-was dan cemas. Sangat takut. Itulah sebabnya mengapa orang-orang disekitar menganggap dia sungguh-sungguh telah gila. Laki-laki tua itu terhuyun-huyun dan tertatih-tatih, kemudian menyembunyikan diri dalam kolong ranjang tempat tidurnya. Sebentar kemudian, ia berteriak-teriak lagi. Lari kesana-kemari. Dan seterusnya.

Dia benar-benar dibuntuti pencuri. Siang dan malam. Ya, hantu. Ya, raksasa. Tak lagi dia bedakan antara pencuri, hantu, dan raksasa. Bayangan yang semakin jelas di samping berujud pencuri yang selalu menguntit, sekaligus hantu yang sangat mengerikan. Juga raksasa. Dua mata besar-besar melotot; giginya, hiiii … ngeri!


Tapi, orang-orang sekitar tak mengerti persoalannya. Mereka menuduhnya gila. Ah, suatu kontradiksi yang sangat tajam. Bahkan, anak cucunya sendiri serta keluarganya menganggapnya demikian pula.

Sejak tadi, pagi ada saja orang yang selalu datang. Entah mau ikut berusaha membantu keluarga mengatasi keadaan itu, maupun menyatakan ikut bingung, ikut berduka cita pada keluarganya atas kejadian itu. Yah, setidaknya memberikan perhatian. Memang, sesuatu yang aneh dan selalu menarik.

Makin lama makin banyak orang berkerumun di halaman rumah pak tua.

“Saudara-saudara, bersiap-siaplah….”

Seketika itu, semua orang terdiam. Kemudian, pak tua mulai berkotbah. Dia menuangkan segala hasil renungannya yang telah diolah masak-masak. Tentang apa arti hidup, bagaimana menghadapi hidup, apa itu kematian, dan sebagainya.

“Saudara-saudara! Saya tidak gila. Saya sedang bertahan memperjuangkan rumah.” Kemudian, orang berbondong-bondong membuntutinya. Pak tua masuk kamar lukis anaknya. Dikuncinya dari dalam.

Rombongan depan yang berbondong itu berhenti di muka pintu. Mereka berebut mengintipnya lewat lubang kunci. Apa yang mereka lihat? Pak tua sedang mengaduk cat. Entah apa kelanjutannya, tidak jelas. Mereka lama menanti di luar sambil gelisah, bertanya-tanya, dan beromong-omong di situ.


Pada waktu mereka sudah banyak pulang dan yang tinggal sedikit, sudah lelah menanti pak tua, tiba-tiba pak tua keluar membawa kain kanvas. Wajahnya berubah sama sekali: berseri-seri serta ada kepuasan di dalam dirinya. Kemudian, pak tua menunjukkan gambar suatu mahluk yang sangat mengerikan. Diangkatnya gambar itu.

“Inilah pemcurinya. Saya sudah tangkap. Kini, saya serahkan kepadamu. Adililah dia!”

Orang-orang menatap mahluk itu dengan sangat tajam. Gumam mereka, “Mengerikan sekali. Mengeryit sinis. Matanya, giginya, kerut-merut wajahnya dan rambutnya yang merah itu membentuk suatu wajah dasyat.”

Kini, orang-orang secara gaib merasakan kengerian pak tua. Satu persatu, mereka mengundurkan diri. Tiba-tiba, mereka lintang-pukang sambil berebut meninggalkan tempat itu. Anaknya –yang seniman- menggelengkan kepala.

“Masakan, ayah bisa melukis seindah itu. Padahal, sebelumnya, sama sekali tak pernah menyentuh kwas maupun cat. Heran, tiba-tiba ayah menjadi pelukis besar.”

“Saya lelah sekali. Saya mau tidur. Pencuri telah tertangkap.” Sembari berkata demikian pak tua merebahkan diri ke lantai. Anak cucu beserta kelurganya ribut mengerumuninya. Dibawanya tubuh tua itu ke atas ranjang. Hari telah semakin senja.

Paginya, tersebar berita bahwa pak tua meninggal dunia. Pencuri telah benar-benar datang pada waktu tuan rumah itu lengah. Dalam beberapa hari saja, lukisan almarhum telah menjadi sorotan, bahkan bahan penyelidikan, dan pembicaraan oleh pelukis-pelukis besar di segala kota.

Surat kabar dan majalah-majalah pun tak henti-hentinya memuat lukisan pak tua yang misterius dan sunggguh-sungguh hidup itu. (Secara resmi pak tua diakui oleh khalayak sebagai pelukis improvisasi terbesar.)

Tidak ada komentar: